Ayo belajar sukses dari seorang Didi, pengolah sampah atau barang bekas yang diubah menjadi produk-produk berkelas yang bernilai jual tinggi. Didi Diarsa Adiana, 36 tahun, tak pernah belajar ilmu sulap. Namun, dari tangan pemilik Furniture Aktif yang bermarkas di Cimanggis, Depok, ini lahir produk berkelas dengan bahan dari barang-barang bekas.
Dengan memanfaatkan kayu bekas peti kemas, ia menghasilkan mebel-mebel berstandar internasional yang ramah lingkungan. Didi menekankan pada pertukangan yang cermat. Selanjutnya, ia cukup memberi sentuhan pernis mengkilap karena tekstur kayu jati belanda (pinewood) yang dipakai sebagai bahan dasar sudah memiliki daya jual tinggi.
Awalnya, Didi lebih menargetkan sekolah-sekolah karena pernah bekerja di dunia pendidikan. Dengan harga yang lebih murah ketimbang produk sejenis, mebel Didi diminati banyak sekolah berstandar internasional di Jakarta dan sekitarnya. Selain harga yang murah, produk Didi juga dinilai mempunyai nilai desain unik dan modern. Misalnya, meja setengah lingkaran dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Meja ini sangat cocok dipakai di TK dan SD yang menerapkan sistem belajar aktif. “Konsepnya, produk saya mendukung proses belajar menjadi lebih menyenangkan,” kata Didi.
Desain Didi mengantarkannya menjadi finalis Asia Europe Classroom Award pada 2004. Selain itu, ia juga menjadi finalis untuk International Young Creative Entrepreneur 2009 yang digelar British Council.
Awalnya, Didi lebih menargetkan sekolah-sekolah karena pernah bekerja di dunia pendidikan. Dengan harga yang lebih murah ketimbang produk sejenis, mebel Didi diminati banyak sekolah berstandar internasional di Jakarta dan sekitarnya. Selain harga yang murah, produk Didi juga dinilai mempunyai nilai desain unik dan modern. Misalnya, meja setengah lingkaran dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Meja ini sangat cocok dipakai di TK dan SD yang menerapkan sistem belajar aktif. “Konsepnya, produk saya mendukung proses belajar menjadi lebih menyenangkan,” kata Didi.
Desain Didi mengantarkannya menjadi finalis Asia Europe Classroom Award pada 2004. Selain itu, ia juga menjadi finalis untuk International Young Creative Entrepreneur 2009 yang digelar British Council.
Ide Eropa
Ide desain karya Didi diperoleh Sarjana Geografi lulusan Universitas Negeri Jakarta itu, saat ia berkunjung ke Eropa. Di Finlandia misalnya, ia menjumpai produk mebel bekas pakai. Hanya saja, tantangan pertama yang ia jumpai di Tanah Air justru pencarian bahannya. Kayu bekas peti kemas yang diincarnya kebanyakan sudah ditadah pengusaha barang bekas di pelabuhan Tanjung Priok. Alih-alih bisa membeli, ayah tiga anak ini malah lebih sering ketemu preman pelabuhan. Untungnya, rumahnya di Cimanggis, Depok, berdekatan dengan pabrik-pabrik yang menyediakan limbah kayu melimpah. “Ketimbang jadi sampah, mending saya manfaatkan,” kata Didi.
Kreativitas Didi tak terbatas di dunia bisnis furnitur. Pria yang gemar berorganisasi ini juga memiliki taman bacaan dan warnet, serta aktif antara lain di koperasi dan persatuan alumni program persahabatan Indonesia-Jepang. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan satu website bernama www.greenschool.web.id. Di situs ini, para murid sekolah dari belasan negara sudah menulis status dan opini mereka tentang penyelamatan lingkungan di negara masing masing.
Pada November depan, situs Didi akan untuk berkompetisi di India memperebutkan hadiah 5 ribu dollar AS, bersaing dengan peserta dari 65 negara lain. Pengalaman ini tentunya bakal memperkaya wawasan Didi, sebagaimana halnya berkesempatan bertemu langsung dengan putra mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles saat ia menjadi salah seorang wakil Indonesia dalam pertemuan pemuda Muslim sedunia "Mosaic International Summit 2010".
Meskipun demikian, Didi mengaku pilihannya sebagai wirausahawanlah yang menjadi puncak pengalaman hidupnya. Ia menyebut Tangan di Atas (TDA), komunitas wirausahawan, yang mengubah pola pikirnya. TDA mendorong Didi berani bersikap dan mengambil tindakan dalam situasi yang tidak normal. “Mereka seperti pahlawan, tindakannya lokal tetapi imbasnya global,” kata Didi.
Didi saat ini aktif di Divisi Networking TDA Depok. Ia mengenang betapa komunitas yang dulu dibangun segelintir orang kini sudah beranggotakan 17.000 orang. Dengan jumlah anggota yang bertambah sepesat ini, TDA sekarang fokus pada penguatan basis internal seperti pengadaan pelatihan dan bimbingan. Namun, penciptaan wirausahawan berkualitas sebanyak-banyaknya tetap tak ditinggalkan. “Tantangan utama adalah mengubah mindset masyarakat yang masih beranggapan PNS jauh lebih baik,” kata Didi.
sumber:British Council;editor:Erlangga Djumena
Kreativitas Didi tak terbatas di dunia bisnis furnitur. Pria yang gemar berorganisasi ini juga memiliki taman bacaan dan warnet, serta aktif antara lain di koperasi dan persatuan alumni program persahabatan Indonesia-Jepang. Saat ini, ia juga sedang mengembangkan satu website bernama www.greenschool.web.id. Di situs ini, para murid sekolah dari belasan negara sudah menulis status dan opini mereka tentang penyelamatan lingkungan di negara masing masing.
Pada November depan, situs Didi akan untuk berkompetisi di India memperebutkan hadiah 5 ribu dollar AS, bersaing dengan peserta dari 65 negara lain. Pengalaman ini tentunya bakal memperkaya wawasan Didi, sebagaimana halnya berkesempatan bertemu langsung dengan putra mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles saat ia menjadi salah seorang wakil Indonesia dalam pertemuan pemuda Muslim sedunia "Mosaic International Summit 2010".
Meskipun demikian, Didi mengaku pilihannya sebagai wirausahawanlah yang menjadi puncak pengalaman hidupnya. Ia menyebut Tangan di Atas (TDA), komunitas wirausahawan, yang mengubah pola pikirnya. TDA mendorong Didi berani bersikap dan mengambil tindakan dalam situasi yang tidak normal. “Mereka seperti pahlawan, tindakannya lokal tetapi imbasnya global,” kata Didi.
Didi saat ini aktif di Divisi Networking TDA Depok. Ia mengenang betapa komunitas yang dulu dibangun segelintir orang kini sudah beranggotakan 17.000 orang. Dengan jumlah anggota yang bertambah sepesat ini, TDA sekarang fokus pada penguatan basis internal seperti pengadaan pelatihan dan bimbingan. Namun, penciptaan wirausahawan berkualitas sebanyak-banyaknya tetap tak ditinggalkan. “Tantangan utama adalah mengubah mindset masyarakat yang masih beranggapan PNS jauh lebih baik,” kata Didi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar