Sebab, yang disebut bea masuk itu hanya berlaku untuk barang masuk. Dan, sebagai barang setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia, selama ini sudah dikenakan bea masuk + PPh+ PPn sebesar 23,75% dari nilai barang. Selain itu, selama ini, pemerintah melalui Ditjen Pajak dan Kemenkeu juga selalu menerima pembayaran pajak penghasilan 15% dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di indonesia.
Sementara itu, dilansir dari Kompas, Noorca Masardi, juru bicara dari 21 Cineplex, mengatakan bahwa semua film asing yang berada di Tanah Air telah diturunkan dari penayangan di semua bioskop (21/XXI/Blitz Megaplex) sejak Jumat, tanggal 18 Februari 2011. "Mulai hari ini (Jumat) sudah tidak ada lagi film asing yang ditayangkan di semua bioskop, termasuk bioskop 21," ujar Noorca Masardi saat dikonfirmasi lewat telepon, Jumat (18/2/2011).
Motion Picture Associated (MPA), mewakili sejumlah perusahaan film asing, juga sudah resmi menarik semua film asing yang beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Pemberlakuan penarikan juga berlaku bagi film asing yang akan beredar. "Sudah ada koordinasi dengan pihak bioskop 21. Mereka datang dan kemarin mengumumkan. Kami dari pihak 21 Cineplex merasa sangat prihatin dengan kondisi sekarang ini," ucap Noorca.
Noorca menyesalkan adanya aksi penarikan tersebut. Hal itu dipicu oleh keputusan pemerintah melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai yang menetapkan pemberlakuan bea masuk hak edar distribusi. "Prihatin atas keputusan pihak asing yang tidak mau lagi mendistribusikan filmnya ke Indonesia, kami yang bergerak di bidang bioskop hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak MPA bisa kembali mendistribusikan film ke Indonesia," ujarnya.
Noorca berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali ketentuan baru tersebut sehingga bisa terus memberikan ruang kepada publik untuk mendapatkan hak hiburan seluas-luasnya. Sebelumnya MPA menolak karena sudah ada negosiasi dan argumen tentang keberatan terhadap ketentuan itu."Namun, keputusan itu tetap diberlakukan mulai Januari kemarin," ucap Noorca Masardi.
Sementara itu, Pemerintah akan mencari jalan keluar sebagai respons keberatan importir film atas ketentuan perpajakan yang mengakibatkan asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia. Pemerintah juga perlu meninjau ulang perpajakan film untuk menjadikan industri ini lebih sehat dan kompetitif. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Bambang Brodjonegoro dan Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kementerian Perekonomian
Edy Putra Irawady menyampaikan hal itu secara terpisah di Jakarta, Sabtu (19/2/2011).
Sebelumnya, Wakil Presiden Motion Pictures Associatian (MPA) untuk Asia Pasifik,
Frank S Rittman, Kamis lalu, menyatakan bahwa asosiasi produsen film besar dari AS ini memutuskan untuk tidak mendistribusikan film di Indonesia selama pemerintah tetap memberlakukan ketentuan perpajakan yang baru terkait pengenaan royalti film impor.
Pada 10 Januari 2011, pemerintah menerbitkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan
Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia.
Surat edaran ini menyebutkan, penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu merupakan royalti yang dikenai PPh 20 persen. Pengenaan pajak royalti untuk film impor merupakan hal baru, sedangkan royalti film nasional sudah lebih dulu dikenai pajak.
Pajak royalti untuk film nasional ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dari Hasil Karya Sinematografi. Selain mengatur ketentuan pajak royalti film impor, Surat Edaran Dirjen Pajak yang diterbitkan Januari lalu juga mengubah perhitungan PPN yang selama ini dikenakan pada film impor.
Sebelumnya, film impor dikenai bea masuk, PPN, dan PPh hanya berdasarkan panjang film, tanpa memperhitungkan jenis dan harga film. "Kami kenakan sekitar 0,43 dollar AS per meter sebagai dasar pengenaan untuk bea masuk dan juga pengenaan PPN dan PPh," ujar Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak
Suryo Utomo saat mengumumkan penerbitan Surat Edaran Dirjen Pajak ini, Januari lalu.
Secara terpisah,
Edy Putra Irawady menegaskan, kenaikan tarif perpajakan atas film impor sebagai barang jadi sebenarnya merupakan hal wajar. Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengizinkan negara anggotanya, termasuk Indonesia, untuk melindungi industri dalam negerinya dengan menerapkan bea masuk pada barang jadi yang masuk ke pasar domestiknya. "Saya pikir itu wajar kalau ada tarif bea masuk untuk barang jadi (film impor). Sebab, sudah menjadi hak kita di WTO untuk menerapkan tarif bea masuk, bahkan hingga 40 persen," katanya.
Meski demikian, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, pemerintah masih akan membahas ketentuan perpajakan ini dengan pihak importir film. Dengan begitu, Pemerintah Indonesia, masyarakat penonton film di Indonesia, ataupun para importir film sama-sama tidak menjadi pihak yang dirugikan.
Terkait keputusan MPA, bioskop di seluruh Indonesia sejak 17 Februari lalu tidak bisa lagi memutar film-film Hollywood milik sejumlah produsen besar anggota MPA. Hal ini meresahkan pengusaha bioskop dan penonton film di Indonesia. Pendiri dan konseptor Blitzmegaplex,
Ananda Siregar, mengatakan, jumlah film Hollywood yang diputar Blitz selama ini sekitar 80 hingga 90 judul per tahun atau sekitar dua pertiga dari semua judul film yang diputar Blitz. Selebihnya, jaringan bioskop ini memutar film nasional dan film asing non-Hollywood. "Jadi, dampaknya sangat negatif. Kalau berkelanjutan itu menyusahkan," ujar Ananda.
Lalu, dengan kondisi seperti ini, akankah bioskop kita masih ramai dikunjungi penonton yang ingin menyaksikan film-film asing yang berkualitas, baik dari segi cerita, akting maupun pesan moralnya? Atau penonton akan beralih menyaksikan film-film lokal yang masih didominasi oleh film-film horor dengan sentuhan erotis atau film drama dengan cerita layaknya sinetron? Waktu akan menjawabnya. Dan ini juga akan jadi kesempatan dan tantangan buat para sineas Indonesia untuk membuat film bermutu yang tak kalah saing dengan film asing.
editor:Opung