Bagaimana nasib para "jugun ianfu", wanita yang dipaksa menjadi pelacur atau budak seks zaman penjajahan Jepang?. Sepertinya kurang ada yang peduli dengan keadaan mereka sekarang. Foto disamping adalah foto Wainem, wanita yang pernah menjadi "jugun ianfu" pada masa penjajahan Jepang. Direktur Independent Legal Aid Institute (ILAI) Yogyakarta, Budi Santoso, mengatakan nasib para mantan "jugun ianfu", perempuan yang dipaksa melayani nafsu serdadu Jepang saat Perang Dunia II, memerlukan dukungan dari pemerintah.
"Dukungan secara moral, politis, dan finansial sangat diperlukan untuk para "jugun ianfu" yang menjadi korban kekejaman perang," katanya usai seminar tentang "Jugun Ianfu" di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Senin.
Menurut Budi, dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk membangun kepedulian kolektif agar perjuangan hak-hak para mantan "jugun ianfu" bisa terus diperjuangkan, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Korea.
Dukungan Pemerintah Korea terhadap nasib mantan "jugun ianfu", kata dia, sangat besar, misalnya partisipasi wali kota yang mau mengantar para korban untuk memberikan testimoni kepada berbagai pihak. "Namun, kondisi di Indonesia berbeda, sebab pemerintah sepertinya tidak memiliki empati terhadap perjuangan para "jugun ianfu", bahkan tidak ada dukungan atas upaya yang dilakukan sejumlah pihak, termasuk kami," katanya.
Ia mengatakan tidak adanya dukungan dari pemerintah tidak hanya terkait permintaan tanggung jawab kepada Pemerintah Jepang, namun selama ini pemerintah juga tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun.
Pemerintah, kata dia, sepertinya justru berupaya menutupi persoalan tersebut karena dianggap sebagai aib yang mempermalukan bangsa, terbukti adanya segelintir pihak yang menolak pengungkapan kasus ini. "Padahal, masyarakat sendiri pun mencibir keadaan mereka dan menganggap sebelah mata dengan masa lalu mereka, sebab kebanyakan tidak memiliki informasi jelas dan benar terkait kondisi mereka," katanya.
Karena itu, kata dia, pihaknya terus melakukan kampanye untuk mengklarifikasi atas kesalahan persepsi di masyarakat menyangkut "jugun ianfu" yang berkembang dan justru semakin menyudutkan posisi mereka. "Jugun ianfu’ adalah praktik perbudakan seks yang membuat posisi perempuan sebagai korban sehingga menyangkut hak asasi manusia dan kemanusiaan yang harus mendapatkan perhatian dari seluruh pihak, terutama pemerintah," katanya.
Terkait tuntutan para korban, kata Budi, sebenarnya para mantan "jugun ianfu" menuntut permintaan maaf secara resmi dari Pemerintah Jepang atas penderitaan yang mereka alami, bukan tuntutan kompensasi berupa materi.
Sementara itu, pengajar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, Trihoni Nalesti Dewi mengatakan permintaan maaf tidak kalah pentingnya dengan kompensasi bahwa kejahatan itu tidak terulang lagi dalam situasi peperangan. "Dalam kasus ’jugun ianfu’, yakni negara bersangkutan wajib memberikan pertanggung jawaban berupa pemulihan seperti keadaan semula, kompensasi, rehabilitasi, permintaan maaf dan jaminan tidak terulangnya kejahatan serupa," kata Trihoni.
penulis:Jodhi Yudono;editor:Jodhi Yudono(Kompas);sumber:ANT;foto:Kunsthal NL, Jan Banning
Dukungan Pemerintah Korea terhadap nasib mantan "jugun ianfu", kata dia, sangat besar, misalnya partisipasi wali kota yang mau mengantar para korban untuk memberikan testimoni kepada berbagai pihak. "Namun, kondisi di Indonesia berbeda, sebab pemerintah sepertinya tidak memiliki empati terhadap perjuangan para "jugun ianfu", bahkan tidak ada dukungan atas upaya yang dilakukan sejumlah pihak, termasuk kami," katanya.
Ia mengatakan tidak adanya dukungan dari pemerintah tidak hanya terkait permintaan tanggung jawab kepada Pemerintah Jepang, namun selama ini pemerintah juga tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun.
Pemerintah, kata dia, sepertinya justru berupaya menutupi persoalan tersebut karena dianggap sebagai aib yang mempermalukan bangsa, terbukti adanya segelintir pihak yang menolak pengungkapan kasus ini. "Padahal, masyarakat sendiri pun mencibir keadaan mereka dan menganggap sebelah mata dengan masa lalu mereka, sebab kebanyakan tidak memiliki informasi jelas dan benar terkait kondisi mereka," katanya.
Karena itu, kata dia, pihaknya terus melakukan kampanye untuk mengklarifikasi atas kesalahan persepsi di masyarakat menyangkut "jugun ianfu" yang berkembang dan justru semakin menyudutkan posisi mereka. "Jugun ianfu’ adalah praktik perbudakan seks yang membuat posisi perempuan sebagai korban sehingga menyangkut hak asasi manusia dan kemanusiaan yang harus mendapatkan perhatian dari seluruh pihak, terutama pemerintah," katanya.
Terkait tuntutan para korban, kata Budi, sebenarnya para mantan "jugun ianfu" menuntut permintaan maaf secara resmi dari Pemerintah Jepang atas penderitaan yang mereka alami, bukan tuntutan kompensasi berupa materi.
Sementara itu, pengajar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, Trihoni Nalesti Dewi mengatakan permintaan maaf tidak kalah pentingnya dengan kompensasi bahwa kejahatan itu tidak terulang lagi dalam situasi peperangan. "Dalam kasus ’jugun ianfu’, yakni negara bersangkutan wajib memberikan pertanggung jawaban berupa pemulihan seperti keadaan semula, kompensasi, rehabilitasi, permintaan maaf dan jaminan tidak terulangnya kejahatan serupa," kata Trihoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar