Bersiaplah para pengusaha atau penikmat makanan dan minuman di restoran, rumah makan, warung, kafetaria, kantin, bar, termasuk juga jasa boga katering karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan tetap mengenakan pajak restoran pada usaha makanan dan minuman. Akan tetapi, dalam hal ini perlu pengkajian ulang terhadap besaran omzet kena pajak agar pemberlakuan pajak tidak merugikan warga kelas menengah ke bawah.
Menyusul polemik mengenai penerapan pajak sebesar 10 persen terhadap usaha kuliner beromzet minimal Rp 60 juta per tahun, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menunda pengesahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sedianya akan berlaku mulai Januari 2011.
Gubernur kemudian menyerahkan pembahasan mengenai Perda tersebut kepada Badan Legislasi Daerah (Balegda) untuk dikaji lebih lanjut. "Raperda ini merupakan peraturan dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Di situ tercantum dengan jelas bahwa objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran," kata Fauzi Bowo seusai bertemu dengan pengurus Koperasi Warung Tegal di Balaikota Jakarta, Senin (6/12/2010).
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa fasilitas penyedia makanan dan minuman yang dipungut bayaran mencakup rumah makan, warung, kafetaria, kantin, bar, termasuk jasa boga katering. Objek atas pajak itu adalah restoran itu sendiri, sementara subjek pajaknya adalah konsumen di restoran tersebut. Pemilik restoran menjadi wajib pajak sehingga kepadanya akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
"Ini yang bayar kan pembelinya, kenapa pemiliknya yang ribut? Kami berpendapat penerapan ini akan ber-impact kepada pemilik usaha. Saya rasa juga keliru kalau pajak restoran dihapuskan," tambah Fauzi Bowo.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Fadjar Panjaitan mengatakan, pengkajian ulang terhadap pajak restoran tidak hanya difokuskan pada omzet kena pajak, tapi juga besarnya pajak sesuai UU No. 28/2009. "Pengenaan pajak maksimal 10 persen. Artinya, boleh di bawah 10 persen. Pengusaha kecil enggak dicoret, tapi dibahas. Yang menentukan Badan Legislasi (Daerah) untuk dibahas, disampaikan berdasarkan masukan yang diterima," kata Fadjar.
penulis:Laksono Hari Wiwoho;editor:I Made Asdhiana;foto:republika
Gubernur kemudian menyerahkan pembahasan mengenai Perda tersebut kepada Badan Legislasi Daerah (Balegda) untuk dikaji lebih lanjut. "Raperda ini merupakan peraturan dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Di situ tercantum dengan jelas bahwa objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran," kata Fauzi Bowo seusai bertemu dengan pengurus Koperasi Warung Tegal di Balaikota Jakarta, Senin (6/12/2010).
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa fasilitas penyedia makanan dan minuman yang dipungut bayaran mencakup rumah makan, warung, kafetaria, kantin, bar, termasuk jasa boga katering. Objek atas pajak itu adalah restoran itu sendiri, sementara subjek pajaknya adalah konsumen di restoran tersebut. Pemilik restoran menjadi wajib pajak sehingga kepadanya akan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
"Ini yang bayar kan pembelinya, kenapa pemiliknya yang ribut? Kami berpendapat penerapan ini akan ber-impact kepada pemilik usaha. Saya rasa juga keliru kalau pajak restoran dihapuskan," tambah Fauzi Bowo.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Fadjar Panjaitan mengatakan, pengkajian ulang terhadap pajak restoran tidak hanya difokuskan pada omzet kena pajak, tapi juga besarnya pajak sesuai UU No. 28/2009. "Pengenaan pajak maksimal 10 persen. Artinya, boleh di bawah 10 persen. Pengusaha kecil enggak dicoret, tapi dibahas. Yang menentukan Badan Legislasi (Daerah) untuk dibahas, disampaikan berdasarkan masukan yang diterima," kata Fadjar.
penulis:Laksono Hari Wiwoho;editor:I Made Asdhiana;foto:republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar